Mengenal 5 Agama Asli Nusantara Yang Masih Bertahan Sampai Hari Ini

Sistem ritual agama di Indonesia

Prakata

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki suku bangsa paling banyak di dunia yaitu sekitar 1300an. Hal tersebut menjadikan Indonesia dikenal bukan hanya sebagai negara kaya akan sumber daya alamnya melainkan juga kaya akan suku bangsanya. Dan hal tersebut dapat dijadikan alasan Indonesia sebagai negara yang subur bagi hidupnya sistem demokrasi karena kayanya akan perbedaan.

Dari banyaknya suku bangsa asli dari zaman Nusantara hingga sekarang Indonesia, terdapat agama atau kepercayaan  yang telah ada, sebelum hadirnya agama dari luar, yang beraliran dinamisme (kepercayaan akan benda yang memiliki kekuatan ghaib), animisme (kepercayaan akan roh leluhur yang mengendalikan kehidupan dan kematian) atau panteisme (kepercayaan bahwa alam semesta merupakan tuhan) atau bisa disebut sebagai agama asli yang di anut oleh berbagai suku bangsa tersebut. Beberapa telah punah dan beberapa masih eksis hingga sekarang. Biasanya pada beberapa daerah, kepercayaan atau agama tersebut dipertontonkan tradisinya kepada wisatawan dan sumber pemasukan pariwisata bagi daerah asalnya.

1. Buda Tengger

Buda Tengger merupakan kepercayaan atau bisa disebut sebagai agama masyarakat Tengger yang bertempat tinggal di sekitar gunung Gunung Bromo dan Semeru. Pada dasarnya sebutan Buda merupakan julukan bagi masyarakat yang tidak memeluk agama islam atau kristen di Jawa pada masa lalu. Dan masyarakat Tengger mengenal jenis agama Buda lain, yaitu Buda Jawa atau kini dikenal kejawen dan Buda Bali atau kini disebut dengan Hindu Bali. Dalam buku the History of Java yang ditulis Raffles, Bhumi Truka Sanghyang Dewata Batur merupakan tuhan tertinggi dan kitab sucinya disebut Panglawu.

Pemuka agama Buda Tengger disebut Dukun. Gelar Dukun di Tengger memiliki perbedaan dengan dukun di luar kawasan Tengger. Dukun pandhita atau dukun gede merupakan penyebutan yang membedakan dengan dukun cilik di luar kawasan Tengger. Dan dukun Tengger tidak berkecimpung dengan ilmu jahat seperti pesugihan dan lain sebagainya, melainkan dukun Tengger memiliki tugas yaitu sebagai pemimpin upacara besar maupun upacara sehari-hari masyarakat Tengger. Dan Paruman Dukun Pandhita merupakan perkumpulan bagi para dukun Tengger.

2. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan asli suku sunda sebelum kehadiran Islam dan Hindu yang mengharuskan masyarakat penganutnya memuja kekuatan alam dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam. Terdapat pendapat bahwa Sunda Wiwitan memiliki unsur monoteisme (kepercayaan bahwa Tuhan hanya satu dan menguasi segala aspek kehidupan maupun kematian) yang diambil dari Patheonnya yaitu terdapatnya dewa tunggal tertinggi yang tak berwujud disebut Sang Hyang Kersa yang setara dengan Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran ini dapat ditemukan sampai sekarang di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten dan sebagian kecil orang Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 

Dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian yaitu sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti Sunda Wiwitan. Oleh Perpustakaan Nasional Indonesia kitab itu disebut Kropak 630. Jika kita melihat sekilas, ajaran tersebut mirip dengan ajaran Hindu tetapi menurut keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.

3. Kaharingan

Kaharingan merupakan kepercayaan / agama asli suku Dayak di Kalimantan sejak zaman kuno sebelum agama luar masuk. Arti Kaharingan sendiri yaitu tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan). Kaharingan memiliki kepercayaan bahwa Tuhan merupakan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit). Pada 20 April 1980 oleh tetua Kaharingan mengintegrasikan agama atau kepercayaan mereka dan dikategorikan sebagai salah satu cabang dalam agama Hindu (Hindu Kaharingan), hal tersebut dikarenakan pemerintah Indonesia mewajibkan masyarakat untuk menganut satu kepercayaan yang diakui secara nasional dan sah. Beberapa tradisi juga serupa dengan tradisi yang terdapat pada agama Hindu dan memungkinkan hal tersebut juga menjadi alasannya. Meski begitu ada banyak penganutnya juga yang menolak hal tersebut. Tjilik Riwut yaitu residen sampit di Banjarmasin tahun 1944, memperkenalkan Kaharingan dan pada tahun 1945 saat pendudukan Jepang pernah diajukan sebagai penyebutan agama Dayak. 

Seiring perkembangan zaman, Kaharingan akhirnya memiliki tempat ibadah yaitu Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab sucinya ialah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawur (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan lainnya. Sampai hari ini para penganut Kaharingan masih memperjuangkan Kaharingan menjadi agama nenek moyang yang sah di Indonesia. Hal tersbut dikarenakan menjadi hambatan bagu masyarakat adat Meratus yang juga merupakan warga negara Indonesia. 

4. Aluk Todolo

Aluk Todolo merupakan agama leluhur suku Toraja yang masih eksis hingga hari ini meski nyaris lenyao dengan arus modern. Negara telah melindungi agama ini dan mengintegrasikannya kedalam sekte Hindu bali pada tahun 1970. Aluk Todolo merupakan animisme tua yang ada di Indonesia dan agama tersebut juga memiliki sifat panteisme dinamistik. Namun seiring perkembangan zaman terlebih ketika banyaknya agama serta ajaran-ajaran dari luar yang masuk, Aluk Todolo mulai dipengaruhi oleh ajaran-ajaran konfusianisme dan ajaran Hindu. 

Aluk Todolo memiliki arti dari bahasa Toraja yaitu cara hidup dan nenek moyang yang berarti cara hidup para leluhur atau agama leluhur. Sumber kepercayaan Aluk Todolo berasal dari dua ajaran utama yaitu Aluk pitunna dan Aluk serba seratus atau Aluk Saratu. Bagi suku Toraja yang menganut Aluk Todolo, Puang Matua merupakan sang pencipta dan dalam mitosnya, para leluhur Toraja hadir dari surga ke bumi dengan menggunakan tangga yang juga dijadikan sebagai cara untuk berhubungan langsung dengan Puang Matua. Dan Aluk Todolo telah menjadi tali penghubung yang kokoh antara batin dengan batin terhadap sesama suku Toraja yang berada di luar kampung halamannya. 

5. Ugamo Malim

Ugamo Malim merupakan kepercayaan asli masyarakat Batak. Dalam bahasa Indonesia, Ugamo Malim berarti kepercayaan Malim dan para penganutnya disebut Parmalim. Kepercayaan ini tersebar di kawasan Sumatera Utara seperti kawasan sekeliling Danau Toba, seperti Samosir, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, dan Simalungun. Para penganutnya juga menyebarkan diri ke beberapa daerah dengan populasi Batak lainnya, seperti di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Dairi, dan Pakpak Bharat. Kepercayaan ini merupakan kelanjutan sistem religi yang lebih kuno lagi dan telah ada sebelum kehadiran Islam dan Kristen. Seperti halnya Buda di Tengger, Ugamo Malim merupakan sistem tata kehidupan yang tak berlebelkan agama bagi masyarakat Batak. Pemimpin pada Ugamo Malim disebut Sisingamangaraja dan pada kepemimpinan Sisingamangaraja XII merevitalisasi kepercayaan ini dan melembagakannya agar terselamatkan dari kepunahannya karena kehadiran agama-agama dari luar.


Dengan kepercayaan ini, masyarakat Batak memaknai sikap religius dengan memuliakan serta wajib menjaga alam karena alam merupakan tumpuan hidup dan anugerah dari Mulajadi Nabolon. Tercerminkan dengan adanya upacara persembahan yang biasa disebut pelean kepada Mulajadi Nabolon dan persiapan upacaranya disebut patik. Kegiatan menata persiapan ritual dan pelean disebut dengan “mang-ugamo-hon” (bahasa Indonesia: meng-agama-kan). "Ugamo" artinya keberaturan atau penataan dengan benar. Para parmalim melaksanakam ritual tersebut setiap hari sabtu atau Marari Sabtu dan Parmalim turut melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim seperti "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima (sipaha lima), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utusan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.

Penutup

Pada dasarnya, seluruh kepercayaan tersebut merupakan bentuk tata aturan yang memengaruhi tatacara hidup tanpa para masyarakat yang menganutnya tanpa adanya pelebelan khusus seperti agama-agama saat ini. Sebetulnya masih ada banyak kepercayaan-keprcayaan yang ada di Nusantara, namun apa yang saya tulis di sini hanya berusaha merepresentasikan kepercayaan yang ada di Nusantara. Kekayaan akan budaya serta adat istiadat merupakan kekayaan yang patut dijaga ditengah-tengah gempuran modernisasi dan globalisasi dan kita sebagai bangsa Indonesia patut mensyukuri, menjaga dan menghargainya.

Bagikan: