Rona Sejarah dan Budaya: Jejak Maritim di Lasem

Denah Wilayah Lasem (1887), Rembang Jawa Tengah

Kontributor: Cahya Aditiya Pratama


Sejarah Lasem

Kota Lasem merupakan kota yang berada di pesisir utara Jawa yang memiliki keindahan alam berupa pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. Lasem merupakan sebuah kecamatan yang bergabung dalam Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Kota Lasem memiliki luas 45,04 km² dan terdapat 20 desa. Jika berkunjung ke Lasem, dapat terlihat bangunan-bangunan sejarah yang sampai saat ini terjaga mulai dari bangunan pemukiman orang Tionghoa, klenteng dan masjid. Lasem menjadi figur kota yang majemuk karena keberagaman budaya, agama dan lainnya melebur dalam kehidupan sosial tanpa ada gesekan apapun. Lasem merupakan refleksi kota yang mengakomodir perpaduan kebudayaan Arab, Cina dan Pribumi. Wilayah Lasem terdapat wilayah yang menjadi pemukiman orang Tionghoa di daerah Dasun, Babagan dan Karangturi. Tata kota dan segi arsitektur Tionghoa yang menghiasi wilayah Lasem sehingga Lasem disebut dengan “Tiongkok Kecil”. Di sisi lain, Lasem merupakan kota yang menjadi simpul penyebaran agama Islam saat dahulu. Berdasarkan sejarah, Lasem menjadi tempat persinggahan pedagang-pedagang Arab sehingga sampai saat ini Lasem bisa dikatakan “Kota Santri” yang dibuktikan dengan banyaknya pesantren-pesantren, unsur budaya Arab serta ulama. 

Sebutan Lasem pertama kali hadir dalam sejarah nusantara pada kesusasteraan era Majapahit yang ditulis pada abad ke-14 Masehi. Kehidupan di wilayah Lasem sudah ada sejak zaman prasejarah Indonesia dengan dibuktikan situs-situs yang lebih tua di daerah Plawangan, Leran, Binangun dan Terjan. Bukti tersebut menandakan bahwa kehidupan di Lasem sudah ada sejak zaman prasejarah di pesisir laut Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Lasem yang strategis untuk dijadikan pelabuhan dan terlindung dari angina dan gelombang laut. Diperkirakan penghuni pertama di wilayah Lasem yaitu para penutur Austronesia yang datang melalui jalur laut (Noerwidi 2017). Penjelasan sejarah Lasem ini dapat ditarik dari kekuasaan kerajaan Hindu-Budha, kekuasaan kerajaan Islam dan kekuasaan kolonialisme. 

Lasem mulai berkembang sekitar abad 13 yang saat itu menjadi wilayah kecil bagian dari Kerajaan Majapahit. Melalui Serat Badra Santi, Lasem menjadi wilayah Negara Agug yang menjadi bagian dari kerajaan dan dikelola oleh Bhre (kerabat dekat raja). Wilayah Lasem di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang perempuan yang bernama Dewi Indu yang merupakan putri dari Wjayarajasa (Bhre Wengker) dan Rajadewi (Bhre Daha). Dewi Indu sebagai pemimpin wilayah Lasem memiliki paras yang cantik dan dikenal oleh pemimpin dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kemudian, Dewi Indu meninggal dunia sehingga tonggak kepemimpinan diserahkan kepada putrinya yaitu Nagarawardhani. Pada saat itu pula, setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, kepemimpinan diserahkan kepada keponakannya yaitu Wikramawardhana. Pemimpin Kerajaan Majapahit tersebut menunjuk Kusumawardhani untuk menjadi Bhre Lasem. Sehingga terjadi dualisme kepemimpinan di wilayah Lasem dan terjadi perang dingin sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal pada tahun 1400. Kemudian, Wikramawardhana mengangkat istri Bhre Tumapel untuk menjadi Bhre Lasem yang pada akhirnya terjadi perselisihan. Dengan demikian, kekuasaan Kerajaan Majapahit di wilayah Lasem semakin melemah sehingga menyebabkan peralihan kekuasaan kepada kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di wilayah tersebut.

Berakhirnya kekuasaan Kerajaan Majapahit di Lasem disebabkan karena terjadi perang antara Majapahit melawan Daha kedir yang letaknya berdekatan dengan Kerajaan Majapahit. Sehingga, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit mulai terlepas secara perlahan. Kerajaan Demak muncul dan berdiri seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam yang berada di Demak, Jawa Tengah. Dahulunya Demak merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Wilayah Demak kemudian dipimpin oleh Raden Patah yang merupakan anak dari Raja Kerajaan Majapahit yaitu Bhre Kerthabhumi atau Brawijaya V dan Ibunya menganut agama Islam yang berasal dari Jeumpa (Maryam 2016). Kepemimpinan Lasem masa Kerajaan Demak diperintah oleh Pangeran Santipuspa. Beliau berhasil memanfaatkan wilayah pesisir Lasem sebagai wilayah perdagangan jalur laut. Kekuasaan Kerajaan Islam di Lasem mengalami pemindahan kekuasaan secara bergantian oleh Kerajaan Demak dan Kerajaan Mataram Islam. Karena peran Sultan Agung yang telah menaklukan kerajaan-kerajaan yang berada di pesisir. 

Lasem pada zaman kolonialisme terjadi monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC terhadap pedagang pribumi dan pedagang Tionghoa. Pedagang Tionghoa memiliki keterampilan dalam perdagangan sehingga VOC menimbulkan kecemburuan dan sikap tidak senang kepada pedagang Tionghoa. Sehingga VOC menerapkan kebijakan yang membatasi batas gerak etnis Tionghoa seperti bertempat tinggal di daerah tertentu dan mewajibkan untuk membawa surat khusus apabila melakukan perjalanan. Etnis Tionghoa mengalai diskriminasi yang tinggi dalam pengelompokkan rasial tersebut. Tahun 1740 terjadi tragedi pembantaian yang ditujukan kepada etnis Tionghoa di Batavia. Masyarakat Tionghoa yang lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke luar benteng pertahanan Batavia salah satunya yaitu Lasem. Etnis Tionghoa tersebut melebur dan menjadi orang Jawa serta masuk Islam untuk terhindar dari sikap rasial penjajah. Pada tahun 1811-1816 pemerintah kolonial membangun Jalan Raya Pos yang membentang di wilayah pesisir Utara Jawa yang membelah Pecinan Lasem menjadi dua yaitu Desa Babagan, Soditan dan Karang Turi (Ratna 2015).

Perkembangan Kemaritiman Wilayah Lasem 

Menurut A.B. Lapian seorang sejarawan yang konsentrasi terhadap sejarah maritim menyatakan dalam bukunya “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut”, studi sejarah hingga saat ini lebih mementingkan peristiwa yang terjadi di darat dibanding di laut. Walaupun lebih dari separuh wilayah Indonesia merupakan laut dan masyarakat Indonesia lebih bergantung secara langsung pada laut. Oleh karena itu, terdapat bagian besar dari pengalaman dan kegiatan penduduk Nusantara di masa lalu yang lolos dari pengamatan dan penelitian sejarawan Indonesia (Lapian 2009). Berdasarkan letak geografis, Lasem memiliki letak yang strategis untuk memanfaatkan laut sebagai mobilitas masyarakat dalam kegiatan apapun. Letaknya yang berada di pesisir Utara Jawa menyebabkan sejak dahulu Lasem menjadi pusat jalur perdagangan yang ingin datang ke Jawa serta berada dalam lintasan jalur darat yang menghubungkan kota-kota pentinga lainnya seperti Semarang, Demak, Gresik dan Surabaya. Dalam lintang sejarah Indonesia, Lasem sejak dahulu sudah menjadi kota Bandar Pelabuhan yang penting saat era Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Lasem merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Bhre Lasem (Aziz 2014). 

Lasem menjadi daerah penopang pusat perdagangan Kerajaan Majapahit dan kekuatan maritim. Raja Kerajaan Majapahit yaitu Wikramawardana pada awal abad 15 menerima kedatangan rombongan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok (Unjiya 2014). Pelayaran yang dilakukan Laksamana Ceng Ho dilakukan selama tujuh kali dari tahun 1405-1433 Masehi. Setiap pelayarannya melibatkan 300 kapal dan kurang lebih 28.000 awak kapal untuk membawa misi wilayah yang dikunjungi mengakui kekuasaan Dinasti Ming bukan upaya monopoli perdagangan (Riyanto et al. 2020). Setelah menerima kedatang rombongan dari Tiongkok tersebut, Kerajaan Majapahit mengeluarkan kebijakan bebas pajak terhadap rombongan Laksamana Cheng Ho di beberapa wilayah pelabuhan seperti Gresik, Surabaya, Tuban dan Lasem. Kebijakan tersebut mengakibatkan gelombang pedagang dari Tiongkok yang berdatangan ke Lasem untuk berdagang dan menetap di Lasem. Lasem memiliki sungai Lasem dan Sungai Kiringan sebagai penopang kehidupan masyarakat pesisir yang menghubungkan dengan wilayah lainnya dan tempat mendarat kapal-kapal. Sungai Kiringan terletak di sisi Barat Laut Lasem dan Sungai Lasem beradai di bagian tengah Kota Lasem. Sungai tersebut bermuara di Pelabuhan Lasem yang dahulu menjadi pusat pendaratan kapal-kapal perdagangan. Lasem menjadi pelabuhan yang terlindung dari gelombang dan angin seperti Bandar Muara Sungai Kirigan dan Teluk Bonang-Binangun untuk berlabuhnya kapal, perbaikan kapal serta pengisian bahan bakar (Ratna 2015). Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, kerajaan Islam seperti Demak, Mataram Islam dan Pajang mempengaruhi eksistensi Lasem sebagai wilayah maritim. Sejak kekuasaan kerajaan Islam, kota-kota pelabuhan mulai berkembang pesat. Kerajaan Demak hadir sebagai kerajaan maritim menjalin hubungan dengan wilayah-wilayah yang dahulunya sudah menjadi kota maritim seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya (Utomo 2017). 

Pada masa Kerajaan Mataram Islam yang merupakan kerajaan pedalaman yang berorientasi pada wilayah agraris memberikan pengaruh kepada wilayah di pesisir Jawa salah satunya Lasem sebagai kota Bandar pelabuhan. Lasem tetap eksis dalam hal perdagangan di tengah-tengah monopoli perdagangan yang dilakukan VOC. Lambat laun dengan adanya monopoli yang dilakukan oleh VOC terjadi peperangan antara masyarakat pribumi dan Tionghoa untuk melawan VOC yang kemudian disebut dengan Perang Kuning tahun 1751. Peperangan ini diakhiri dengan kekalahan yang terjadi pada masyarakat pribumi dan Tionghoa. Pada masa kolonialisme, Lasem tetap menjadi kota Bandar pelabuhan yang menopang pusat perdagangan dan industri di Jawa.

Lasem yang saat ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Rembang telah memiliki banyak jejak peninggalan maritim yang terjadi di masa lalu. Perahun kuno yang ditemukan di Desa Punjulharjo pada tahun 2008 yang memiliki pertanggalan 660-780 M menjadi bukti bahwa sejak dahulu Lasem menjadi wilayah maritim (Abbas 2010). Pembuatan perahu Punjulharjo ini menggunakan teknik tambuku terikat yang merupakan teknik pembuatan perahu Nusantara. Dalam pembuatannya, perahu dirakit dengan pasak kayu yang kemudian disambungkan dengan papan perahu dan mengikatkan gading pada tambuku menggunakan ijuk (Purnawibawa 2021). Tahun 2011 ditemukan jangkar tua yang diperkirakan merupakan jangkar kapal Tiongkok dan kapal Kerajaan Majapahit yang ditemukan di perairan Karang Sinden dengan panjang 4 meter dan lebar 3 meter dan jangkar tua ini dimonumenkan di Wisata Pantai Kartini, Rembang (Setianegara 2014).

Wujud Akulturasi Budaya di Pesisir Lasem

Akulturasi budaya yang terjadi di Lasem sangat pesat dengan dibuktikan wilayah tata kota yang masih mempertahankan arsitektur pribumi, Tiongkok dan Arab. Sejak dahulu, Lasem menjadi kota Bandar pelabuhan dan pusat perdagangan internasional untuk menyangga kerajaan yang berkuasa seperti Majapahit, Demak, Mataram Islam dan Pajang. Wilayah yang berada di pesisir dan sebagai jalur lintasan darat yang menghubungkan antar kota Bandar pelabuhan seperti Demak, Gresik, Tuban dan Surabaya. Menurut Suropati, maritim merupakan bagian dari integrasi dan identitas kemakmuran masyarakat Indonesia yang berkarakter dinamis, egaliter dan pantang menyerah (Suropati 2016). Relief perahu yang digambarkan di Candi Borobudur mengartikan kehidupan masyarakat pesisir yang berlayar dalam abad sebelumnya (Zuhdi 2014). Jika sikap-sikap maritim tersebut dapat dikembangkan secara berkelanjutan, maka wujud Indonesia menjadi negara dan bangsa maritim bukan lagi menjadi cita-cita melainkan sebuah kenyataan.

Kerekatan antara masyarakat pribumi dan masyarakat Tionghoa dapat dilihat dari sejarahnya kota Lasem. Saat itu, masyarakat pribumi dan Tionghoa menjadi masyarakat yang tertindas akibat dari kebijakan kolonial. Sehingga, terjadi rasa persamaan nasib dan sepenanggungan yang perlu diperjuangkan bersama-sama untuk keluar dari belenggu kolonialisme. Saat perang kuning melawan kolonialisme tokoh pribumi muslim yang diwakili oleh Kiai Ali Badhawi sangat terbuka atas bantuan dari Tionghoa yang diwakili oleh R.P Margana dan Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang menjadi bagian dari pemerintahan Lasem dan elit Tionghoa (Aziz et al. 2022). Oleh karena itu sampai saat ini Lasem disebut sebagai kota “Tiongkok Kecil” yang faktanya masyarakat pribumi dan Tionghoa hidup saling berdampingan tanpa ada sifat Etnosentrisme dan sentimen agama. Akulturasi yang terjadi ada di beberapa sektor kehidupan masyarakat Lasem seperti arsitektur bangunan, rumah tinggal dan budaya batik, tradisi, gaya hidup dan bahasa.

Pertama, akulturasi bahasa yang menjadi alat komunikasi yang penting dalam kehidupan. Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Lasem pastinya harus menyesuaikan budaya dan kondisi setempat. Kondisi di Lasem berbeda dengan keberadaan masyarakat Tionghoa yang berada di Sumatra maupun Kalimantan yang masih dekat dengan berbatasan Malaysia yang menggunakan bahasa mandarin. Di Lasem, masyarakat Tionghoa fasih menggunakan Bahasa Jawa untuk berinteraksi antara berbeda etnis maupun sesame etnis. Berdasarkan beberapa sumber, di Lasem hampir sudah tidak ditemukan lagi interaksi antara masyarakat berbeda etnis dan sesame etnis yang menggunakan bahasa Tionghoa (Ratna 2015). Bahasa Tionghoa yang sering digunakan di Indonesia yaitu Hokkian namun seiiring waktu bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi. Bahasa Hokkian hanya dipergunakan oleh pemeluk Konghucu saat beribadah di klenteng. 

Kedua, segi arsitektur juga terjadi akulturasi antara masyarakat pribumi dan Tionghoa. Menurut Darmawan, pada mulanya masyarakat pribumi Lasem menggunakan arsitektur pribumi seperti rumah joglo. Datangnya etnis Tionghoa ke lasem dan membentuk pemukiman Tionghoa turut mempengaruhi arsitektur rumah tinggal dan bangunan lainnya (Darmawan 2012). Arsitektur bangunan bagi masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai bentuk relasi antara fungsi, bentuk dan makna dari setiap bagian bangunan rumah tinggal. Desa Karang Turi merupakan daerah pemukiman masyarakat pribumi dan Tionghoa yang mana arsitektur rumah tinggal memiliki corak akulturasi dari budaya yang pernah ada di Lasem. Rumah Cina-Geladak yang dibangun sebagai bentuk campuran antara gaya arsitektur Cina dan rumah lokal. Akulturasi yang terbentuk yaitu bagian depan terdapat daun pintu yang bertulisan huruf Cina dan atap menggunakan arsitektur Jawa (Riyanto et al. 2020). Akulturasi seperti pintu yang bertuliskan kanji dan ventilasi berupa mandala yang dikelilingi dengan panah memiliki makna tersendiri. Ventiasi berupa mandala mengartikan kemudahan rezeki yang didapatkan dari manapun serta Dharmacakra yang melambangkan metafora dunia, penciptaan dan roda keabadian (Pratiwo 2010). 

Ketiga, Batik Lasem merupakan salah satu batik pesisir yang memiliki ciri khas yang unik dan tersendiri. Ciri khas tersebut terlihat dari motif batik yang memiliki pengaruh dari budaya Tionghoa. Dalam sejarahnya, batik Lasem ditekuni oleh masyarakat Tionghoa pada abad 18 dan 19. Karena batik memiliki peluang perdagangan yang menggiurkan dan menguntungkan sehingga banyak masyarakat Tionghoa terjun untuk membuka usaha batik dan masyarakat pribumi saat itu menjadi pegawai dari usaha masyarakat Tionghoa tersebut. Corak warna yang terdapat pada batik Lasem juga terjadi pencampuran budaya antara Jawa dan Tionghoa. Warna coklat tua dan biru tua merupakan sogan Majapahit (Rahayu 2014). Akulturasi batik Lasem lainnya seperti motif naga, motif swastika, motif awan Tiongkok yang mudah dikenali dengan warna gradasi serta silang budaya yang terjadi pada motif batik lasem seperti motif latohan dan motif watu wadas (Utomo 2017). 

Daftar Pustaka

Abbas. 2010. “Perahu Kuna Punjulharjo: Sebuah Hasil Penelitian.” Jurnal Penelitian Arkeologi 6.

Aziz. 2014. Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Cina, Arab, Dan Jawa Dalam Silang Bu- Daya Pesisiran. Yogyakarta: Ombak.

Aziz, Abdul, Muhammad Wildan, U I N Sunan Kalijaga, and U I N Sunan Kalijaga. 2022. “PERSEKUTUAN MUSLIM JAWA-TIONGHOA MELAWAN BELANDA DALAM PERANG SABIL LASEM ( 1750 M ).” Tsaqofah dan Tarikh 7(1750 M).

Darmawan. 2012. “Pengaruh Mazhab Yin Yang Pada Arsitektur Rumah Tinggal Kuno Cina Lasem.” Jurnal Tesa Arsitektur 10.

Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Depok: Komunitas Bambu.

Maryam. 2016. “TRANSFORMASI ISLAM KULTURAL KE STRUKTURAL (STUDI ATAS KERAJAAN DEMAK) Maryam.” Jurnal Tsaqofah dan tarikh 1(1).

Noerwidi. 2017. Globalisasi, Pelayaran-Perdagangan, Dan Diversitas Populasi: Studi Sisa Manusia Situs Leran, Rembang, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi.

Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Cina Dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Ombak.

Purnawibawa, R Ahmad Ginanjar. 2021. “Perahu Tradisional Dalam Dinamika Sejarah Maritim Rembang Setelah Abad Ke-10.” Widya Citra 2(2): 44–54.

Rahayu. 2014. “Perkembangan Motif Batik Lasem Cina Peranakan Tahun 1900-1960-An.” Jurnal Pendidikan Sejarah 2.

Ratna, Dwi. 2015. Akulturasi Lintas Zaman Di Lasem: Perspektif Sejarah Dan Budaya. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).

Riyanto, Sugeng et al. 2020. Lasem Dalam Rona Sejarah Nusantara. Yogyakarta: Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setianegara. 2014. Strategi Maritim Pada Perang Laut Nusantara Dan Poros Maritim Dunia. Yogyakarta: Leutika Prio.

Suropati. 2016. Arungi Samudra Bersama Sang Naga Sinergi Poros Maritim Dunia Dan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21. Jakarta: Kompas Gramedia.

Unjiya. 2014. Lasem Negeri Dampoawang. Yogyakarta: Salma Idea.

Utomo, Avif Arfianto Purwoko. 2017. “Potensi Bahari Lasem Sebagai Sejarah Maritim Lokal.” Sejarah dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya 11(2): 141–50.

Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme Laut Dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.


Bagikan: