Potret Masalah Pendidikan di Indonesia

Masalah Pendidikan di Indonesia

Kenapa sih pendidikan kita sulit untuk bisa menyaingi negara-negara maju? 

Mungkin ini pertanyaan yang sering ditanyakan oleh berbagai kalangan, mengingat sistem Pendidikan di Indonesia hari ini mengalami banyak permasalahan. Salah satunya adalah kurikulum yang mengikat siswa untuk belajar apa yang sebetulnya tidak diperlukan ketika ia dewasa atau sudah bekerja nanti.

Beberapa waktu belakangan viral curhatan seorang guru yang memberikan semangat pada siswa atau orang tua tentang hasil ujian dan apa yang tidak diperlukan dalam profesi tertentu di beberapa mata pelajaran. Curhatan guru tersebut seakan menampar kualitas pendidikan kita yang terlalu berfokus pada penilaian secara keseluruhan dalam mata pelajaran. Karena baginya calon seorang seniman tidak perlu mengerti matematika, calon atlet yang lebih berfokus pada fisik dibandingkan dengan fisika, dan calon musisi yang tidak perlu juga memahami rumus kimia. 

Inilah gambaran pendidikan di Indonesia hari ini dimana standar penilaian tinggi lebih diutamakan dibandingkan dengan prosesnya. Perlu dipahami bahwa hasil atau nilai tinggi dalam jenjang pendidikan baik SD, SMP, SMA, maupun tingkat Universitas tidak terlalu berguna dalam kebutuhan yang akan dijalani nanti. Karena realita di kehidupan dan lingkungan pendidikan berbeda jauh dalam segala aspek. 

Karena itu saya merasa perlu memberikan beberapa permasalahan mengenai pendidikan di Indonesia dan solusi untuk memperbaiki masalah kedepannya. Berikut adalah hasil dari analisis mengenai permasalahan tersebut: 

Baca juga: Tips memaksimalkan media sosial sebagai peluang bisnis

Kesenjangan dan stigmatisasi terhadap institusi pendidikan swasta

Sudah bukan rahasia umum seseorang lebih dianggap hebat ketika menempuh pendidikan di Institusi pendidikan negeri dibandingkan dengan swasta (kecuali swasta dengan kategori Internasional ). Stigma ini berkembang entah sejak kapan, namun masih terus dibicarakan hingga saat ini. Hal ini menimbulkan semacam bias informasi dan stereotip buruk terhadap institusi pendidikan swasta yang membuat kesenjangan antara institusi pendidikan swasta dengan institusi pendidikan negeri. Karena pada akhirnya institusi pendidikan swasta dianggap sebagai jalur terakhir ketika tidak diterima di negeri, dan dalam beberapa kasus banyak siswa yang kecewa karena tidak diterima di sekolah negeri. Padahal standar pendidikan untuk setiap institusi baik negeri maupun sudah ditentukan melalui PP No 57 tahun 2021 yang berisi mengenai upaya mewujudkan pendidikan nasional secara merata, termasuk di dalamnya adalah standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses dan standar penilaian pendidikan. Dalam rangka mewujudkan harapan akan pendidikan yang terbaik dan memiliki bibit-bibit unggul di masa depan nanti. Sayangnya tidak semua orang paham akan cita-cita ini sehingga menimbulkan stereotip tersebut. Karenanya peran pemerintah cukup penting dalam memperbaiki stereotip akan rendahnya mutu dan kualitas di pendidikan swasta. Masyarakat juga harus merubah pola berpikirnya dalam menilai suatu institusi pendidikan swasta, apakah kualitas di sekolah tersebut buruk karena manajemen dari sekolahnya atau memang keterbatasan sumber daya, bukan menjustifikasi satu sekolahan untuk menilai sekolah-sekolah lain secara keseluruhan.  

Masalah Pemerataan dan Biaya Pendidikan

Dalam beberapa hal, termasuk diantaranya fasilitas yang lebih memadai dan biayanya yang gratis, kualitas pendidikan baik sekolah negeri sama-sama memiliki potensi untuk berkembang. Memang sekolah negeri jauh lebih menjamin tiap-tiap sekolahnya memiliki fasilitas yang memadai. Berbeda dengan sekolah swasta dimana fasilitas nya bergantung pada yayasan ataupun pemilik dari sekolah tersebut, semakin banyak dana yang dikucurkan maka jumlah fasilitas nya pun juga memadai. Tapi, biaya masuk di sekolahnya pun juga tinggi. Alhasil, sebagian dari masyarakat yang tergolong kurang mampu lebih memilih sekolah swasta dengan biaya rendah karena tidak diterima di sekolah negeri. Ini menjadi masalah utama dalam upaya pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia mengingat jurang antara kelas sosial terlihat cukup jelas. Mereka yang mampu akan lebih cenderung memilih sekolah dengan fasilitas terbaik demi menjamin kualitas pendidikan. Karenanya pemerataan sulit untuk diwujudkan jikalau prioritas nya hanya untuk sekolah negeri. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara dengan kualitas pendidikan yang sudah maju misalnya seperti Finlandia dimana pemerataan sudah sampai pada tingkat institusi pendidikan swasta.  

Alokasi dana pendidikan tinggi tapi kualitasnya tidak berkembang

Tercatat bahwa tahun 2022 anggaran dana pemerintah untuk alokasi pendidikan sebesar 621,3 Triliun Rupiah meningkat setiap tahunya, tapi apakah kualitas nya pun demikian?. Data tahun 2021 menjelaskan bahwa Indonesia berada di posisi 54 dari total 78 negara yang tercatat dalam peringkat pendidikan dunia. Data ini dipublikasikan oleh World Population Review pada tahun 2022 untuk mengukur tingkat pendidikan di seluruh dunia. Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Malaysia dan Thailand. Ini menjadi masalah serius mengingat alokasi dana pendidikan di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Walaupun perlu digaris Bawahi bahwa kategori tersebut bukan satu-satunya indikator dalam menentukan kualitas pendidikan. Tapi apakah kurang biaya sebesar itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, mengingat banyak pakar beranggapan bahwa dana pendidikan jauh lebih mudah untuk dikorup oleh pemangku kebijakan. Karenanya seringkali efektivitas dari biaya anggaran pendidikan tidak berjalan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat.  

Masalah mengenai kualitas tenaga pengajar

Bukan hal baru ketika guru dalam satu mata pelajaran tertentu merangkap mengajar mata pelajaran lain yang bukan bidangnya. Hal ini merupakan masalah serius, mengingat dalam setiap mata pelajaran memiliki kriteria pendidikan karakter yang berbeda-beda. Pendidikan karakter di mapel ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, ekonomi,geografi dan sosiologi berbeda dengan mapel matematika, fisika, kimia dan biologi. Tetapi banyak guru yang di luar bidangnya diberi tanggung jawab untuk mengajar mapel tersebut. Sehingga aspek utama dalam pendidikan yaitu aspek emosionalnya tidak terpenuhi karena guru tersebut belum matang secara emosional dalam menyampaikan tujuan dari mapel selain aspek kognitif yaitu pemaknaan dalam pembelajaran. Hasilnya adalah komunikasi antara guru dan siswa hanya sebatas transfer pengetahuan tanpa pengembangan lebih lanjut. Walaupun begitu masalah sebenarnya adalah karena sekolah kekurangan tenaga pengajar sehingga sembari menunggu tenaga pengajar baru datang, biasanya sekolah mencari guru pengganti untuk mengisi kekosongan kelas. Mungkin masalah ini bisa diterima jikalau jangka waktunya hanya beberapa hari atau beberapa minggu. Namun kalau lebih dari itu berarti sekolah tidak serius menanggapi permasalahan ini. Maka dari itu, pentingnya bidang yang sesuai dengan profesi seorang guru akan memberikan pengalaman belajar mengajar yang jauh lebih baik karena tujuan dan maksud dari mapel tersebut bisa lebih tersampaikan dengan baik.

Baca juga: Dampak budaya populer

Masalah fungsi pendidikan yang berubah

Hal yang paling miris dari pendidikan hari ini adalah pendidikan dianggap sebagai proses menuju karir di masa depan nanti. Perubahan fungsi pendidikan sebagai penunjang karir dikarenakan adanya persaingan tenaga ahli yang cukup ketat, alhasil tiap-tiap negara berlomba-lomba untuk menyiapkan tenaga kerja secara masif agar tidak kehilangan momentum dalam berkompetisi dengan negara lain-termasuk diantaranya adalah Indonesia. Padahal fungsi utama dalam pendidikan adalah membentuk karakter kemanusiaan yang sesuai dengan identitas bangsa. Namun, bukannya membentuk karakter tapi mengkerdilkan esensi dari pendidikan menjadi lebih pragmatis dan memperburuk kualitas pendidikan di masa yang akan datang nanti. Terlihat jelas dalam muatan materi yang dibuat seakan-akan mengisyaratkan bahwa tenaga kerja terampil jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan tenaga kerja berbudi pekerti dan luhur. Masyarakat lupa bahwa para pendiri bangsa adalah mereka yang memiliki budi pekerti yang baik walaupun saling berbeda pandangan. Dengan demikian apa artinya pendidikan jika hanya mementingkan aspek karir dan profesi. Apakah memang pertumbuhan ekonomi menjadi lebih penting daripada kualitas kemanusiaan itu sendiri?. Menyesuaikan zaman memang diperlukan, tapi mengubah keseluruhan kualitas pendidikan akan menjadi masalah besar dan tantangan dalam menjaga identitas bangsa akibat kehilangan jati diri bangsa dan sejarah panjangnya.

Itulah sedikit gambaran mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia, sampai hari ini indeks pendidikan kita masih tergolong cukup rendah. Semoga Pendidikan kita bisa bertumbuh menjadi sesuatu yang lebih baik di masa depan nanti. 

Bagikan: