Tentang Banalitas Hannah Arendt dan Kondisi Masyarakat Hari Ini

Banalitas meracuni pikirkan kita 

Banalitas dalam perspektif Hannah Arendt merupakan sebuah konsep untuk menjelaskan peristiwa kejahatan terhadap pembantaian berbagai etnis di seluruh Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Holocaust selama Perang Dunia Kedua. Secara spesifik sebenarnya Arendt ingin menjelaskan fenomena kejahatan yang dilakukan oleh seorang petinggi NAZI bernama Adolf Eichmann. Kasus Adolf Eichmann menurut Arendt merupakan kejahatan yang cukup berbeda dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan yang selama ini dilakukan oleh manusia. Konsep Banalitas menerobos dimensi kondisi manusia, dimana sebuah tindakan yang dikategorikan 'jahat' atau definisi kejahatan selama ini tidak mungkin bisa mendeskripsikan kebrutalan dari seorang Adolf Eichmann. Karenanya ketika Arendt mengajukan tesis ini di Amerika, banyak kalangan yang menentang tindakan Arendt sebagai pendukung Eichmann karena memiliki pemahaman berbeda dalam menganalisa kasus Eichmann di persidangan para penjahat perang selama Perang Dunia Kedua. 

Analisa Arendt Mengenai Kasus Eichmann

Kejanggalan Arendt dalam menganalisa sosok Eichmann yang dituduh paling bertanggung-jawab atas pembantaian kaum Yahudi, adalah ketika Eichmann secara sadar bersaksi bahwa dia tidak melakukan tindakan kejahatan dan hanya menjalankan perintah dari atasan, yaitu memberikan izin agar kereta yang membawa kaum Yahudi menuju ke tempat pengeksekusian. Ia juga tidak menunjukan rasa penyesalan mendalam dan rasa pertanggungjawaban atas pembantaian tersebut. Untuk itu, Arendt mencoba untuk mencari tahu mengapa Eichmann seakan-akan membenarkan tindakannya, yaitu tunduk pada atasan dan mematuhi perintah dari Sang Fuhrer walaupun tau bahwa para kaum Yahudi akan dibunuh di kamp-kamp konsentrasi. 

Hasilnya cukup mengejutkan karena bagi Arendt, semua yang dikatakan Eichmann itu benar demikian, tidak ada indikasi menutup-nutupi ataupun berupaya untuk berbohong mengenai kondisi pada saat itu. Eichmann juga menegaskan bahwa dirinya bukan seorang pembenci Yahudi atau Anti-semit dan tidak punya dendam ataupun masalah dengan mereka. Maka dari itu Arendt coba untuk membangun kembali argumentasi nya sesuai dengan kesaksian Eichmann di persidangan. Hasilnya adalah bahwa Eichmann terbukti tidak bersalah jikalau merujuk pada hukum yang berlaku. Namun karena tuntutan masyarakat akhirnya Eichmann dieksekusi karena dianggap bertanggung-jawab terhadap kasus genosida kaum Yahudi. 

Tidak berhenti di situ, Arendt mencoba mengungkap kembali kejahatan seperti apa yang dilakukan Eichmann, karena bagi Arendt Eichmann memang melakukan tindakan kejahatan tapi bukan kejahatan seperti yang dipahami banyak orang. Sampai pada akhirnya ditarik sebuah kesimpulan bahwa kejahatan Adolf Eichmann merupakan sebuah jenis kejahatan jenis baru dalam peradaban manusia. Argumentasinya berfokus pada moralitas manusia dalam ketidakmampuannya dalam berpikir atau disebut sebagai Banalitas. 

Memahami Kembali Apa itu Banalitas

Konsep Banalitas yang dimaksud oleh Hannah Arendt merupakan kondisi dimana seseorang secara sadar berperan sebagai aktor dalam tindak kejahatan bukan karena adanya kepentingan atau keinginan tertentu melainkan individu tersebut tidak lagi mampu berfikir bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan suatu kejahatan atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Kedangkalan Berpikir. Secara kategori Banalitas mengacu pada seseorang yang dianggap biasa-biasa saja, bukan seorang dengan gangguan jiwa tertentu, dan tidak memiliki kebencian apapun terhadap korbannya. Intinya adalah individu yang melakukan kejahatan dalam konteks banal tidak memiliki motif tertentu melainkan karena hilangnya kemampuan berpikirnya dan tidak mampu mempersepsikan bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindak kejahatan serius. Kondisi dalam kejahatan banalitas biasanya mengacu pada hukum, norma ataupun budaya yang membenarkan tindakan tersebut. Dan dalam kasus Eichmann, Ia dianggap sebagai seorang normal pada umumnya, tidak ada gangguan tertentu namun berkelakuan seperti itu. Hal ini dikarenakan hukum yang berlaku membenarkan tindakannya dan merupakan suatu hal umum dan bukan sebuah kejahatan. 

Kasus Eichmann membuktikan bahwa kejahatan yang selama ini ter konstruksi dalam pikiran dan paradigma masyarakat penuh dengan kerumitan, sebab pemahaman tentang jahat diindikasikan melalui tindakan dan motif tertentu dari seseorang. Hal ini berubah ketika melihat kasus Eichmann secara mendalam dan lebih terperinci. Sudah barang tentu banyak perbedaan antara masyarakat hari ini dengan masyarakat di kehidupan Eichmann. Dunia digital memberikan ruang seluas-luasnya bagi siapapun untuk berinteraksi satu sama lain, tidak ada batasan tempat juga waktu untuk mengirim pesan satu sama lain. Masyarakat juga bisa membagikan aktivitas nya sehari-hari melalui gadgetnya untuk sekedar mengabadikan ataupun untuk menggambarkan kesehariannya. Tiap orang juga punya hak yang sama ketika berselancar di dunia digital, dimana ia boleh berkomentar, tidak berkomentar ataupun menutup ruang komentar bagi orang lain. Masyarakat dalam lingkungan dunia digital diberikan akses yang cukup luas untuk menjelajahi budaya maupun kebiasaan masyarakat di tempat lain, sehingga menimbulkan adaptasi terhadap budaya-budaya luar ke budaya lokal. Terlihat cukup jelas ketika tren masyarakat hari ini baik di twitter, instagram maupun platform media sosial lainya membicarakan keragaman dan informasi seputar keadaan dunia hari ini. Akses menjelajahi keseluruhan informasi yang ada di dunia, memberikan sumbangsih penting bagi masyarakat untuk lebih berkomunikasi satu sama lain. 

Banalitas dalam Masyarakat Indonesia Hari ini

Naasnya, kebebasan dan keterbukaan akses tersebut justru membuat moralitas masyarakat menjadi jauh lebih kompleks dan sulit untuk mengontrol aturan dan etika dalam berkomunikasi secara digital. Siapapun bisa menjadi benar dan berhak untuk menyalahkan orang lain karena adanya perbedaan mengenai sesuatu hal tertentu. Tentu ini hal yang lumrah dalam percakapan, dimana perbedaan pendapat sering kali ditemukan dalam perbincangan umum. Akan tetapi menjadi masalah ketika seseorang mengklaim pendapatnya sebagai kebenaran umum dan orang lain juga harus berpendapat demikian, hingga menyebabkan salah satu diantara mereka bertengkar diiringi dengan hujatan terhadap orang lain. 

Dari sini, percikan-percikan fanatisme terhadap  pendapatnya bermunculan karena anggapan bahwa “hanya akulah yang benar dan kalian semua salah"  terhadap sudut pandang tertentu yang bisa saja ia salah memahami atau kurang bisa menangkap maksud dari lawan bicaranya. Kondisi demikian sering kali terjadi dalam dunia digital, hina menghina antar perbedaan, mencaci maki, serta hasutan-hasutan untuk mempengaruhi mereka yang berbeda sebagai seorang sesat dan harus dihancurkan. Kasus ini tentu akan menjadi permasalahan mengingat masyarakat pada akhirnya terpolarisasi karena ketidaksepahaman antara satu sama lain. Hingga akhirnya menyebabkan perpecahan di antara mereka sendiri. 

Jika dihubungkan dengan kasus Eichmann, kondisi masyarakat hari ini kurang lebih mungkin bisa menyebabkan banalitas terulang kembali. Tentu dalam pertikaian di media sosial masing-masing dengan jelas menunjukan motif maupun tujuan dari pertikaian tersebut. Mereka secara tegas membela apa yang dianggapnya sebagai kebenarannya dan menyalahkan orang lain karena berbeda pendapat. Barang kali di saat kondisi masyarakat sudah terbiasa dengan sikap demikian, proses banalisasi perlahan mulai mengungkapkan eksistensinya. Masyarakat jadi lebih menyerang satu sama di media sosial karena perbedaan mengenai cara pandang tentang kebenaran dan sampai tahap tertentu mungkin pembiasaan ini menjadi salah satu rutinitas keseharian tanpa mau berpikir secara kritis bahwa tindakannya dapat mencederai orang lain. 

Bagikan: